KAU, AKU DAN SEPUCUK ANGPAU MERAH
Oleh Tere Liye
GM 401 01 12 00 55
PT Gramedia Pustaka Utama, Januari 2012
512 halaman, Rp. 72.000,-
Libur telah tiba! Bagi kalian yang gemar membaca, Novel karya Tere Liye selanjutnya saya singkat menjadi KAdSAM ini layak masuk dalam daftar baca. Dijamin gak nyesel,deh!
Ini adalah kisah Borno, pemuda asal tepi Kapuas berusia 22 tahun. Borno yang sudah yatim sejak usia 12 tahun hanya tinggal berdua dengan Saijah, ibunya. Bapaknya adalah nelayan tangguh yang menjadi tulang punggung keluarga terjatuh dari perahu saat melaut dan tersengat ubur-ubur hingga membuat kejang seketika dan sebelum tubuhnya benar-benar berhenti Bapak menyetujui untuk mendonorkan jantungnya pada pasien gagal jantung yang sudah berminggu-minggu mencari donor. Mengharukan.
Borno tumbuh menjadi pemuda sederhana, baik hati dan nasibnya yang hanya lulusan SMA membuatnya sangat sulit untuk mencari pekerjaan. Mulai dari kerja di pabrik karet, gagal kerja di pabrik sarang burung walet, jadi pemeriksa karcis, jadi petugas SPBU hingga pekerjaan ‘remeh’ macam perbaiki genteng atau mencari kucing hilang pun sudah pernah ia lakoni. Berganti-ganti profesi hingga akhirnya ia menjadi pengemudi sepit walau harus melanggar wasihat Bapak : Jangan jadi pengemudi sepit, seperti Bapak dulu.
Kalian tahu sepit? Ya, plesetan dari speed. Perahu kecil yang panjangnya 5 meter dan lebar 1 meter dengan tempat duduk melintang dan bermesin tempel. Walau hati Borno galau karena telah melanggar wasiat, ia teringat petuah Pak Tua, kawan karib almarhum ayahnya itu,
“Bahkan penjaga kakus juga pekerjaan yang mulia Borno, sepanjang kau lakukan dengan tulus.”
Novel ini juga mengisahkan tentang si sendu menawan yang dilihat Borno pertama kali saat mengemudi sepit. Gadis berwajah sendu seperti artis negeri jiran dengan rambutnya yang tergerai panjang, berbaju kurung kuning dan membawa payung tradisional bewarna merah. Siapakah ia?
Asal muasal cerita adalah saat Borno menemukan angpau merah tercecer di sepitnya. Ia menebak pastilah punya si sendu menawan. Borno berusaha mengembalikannya, seminggu penuh menghafal aktivitas berangkat pagi gadis itu dan ternyata saat Borno melihatnya gadis itu sedang membagi amplop merah yang sama kepada anak-anak SD. Angpau yang biasa saja, pikir Borno. Apalagi si sendu menoleh dan berkata: “Abang mau terima angpau juga?”
Ternyata tepat seminggu setelahnya si sendu menawan tepat naik sepit Borno.Namun sayang mereka tidak sempat mengobrol, malah Borno yang curi-curi dengar percakapan gadis itu dengan penumpang lain.Ternyata gadis itu seorang guru di sebuah yayasan. Kebetulan yang menyenangkan karena di hari yang sama, ia bertemu lagi siangnya saat mengantar rombongan turis ke Istana Kadariyah. Gadis itu sedang mengantar pejabat yayasan dari Jakarta yang sedang berkunjung. Setelah berbasa-basi sebentar gadis itu mengajukan pertanyaan yang membuat Borno gugup.
“ Seberapa sulit mengemudikan sepit, Abang? ‘’
“ Abang mau mengajari ?” Prikitiw.
Dua jam mengajari sepit, Bormo malah lupa bertanya nama gadis itu. Dan saat bertemu lagi dengan sebelumnya berbasa-basi menceritakan lelucon soal nama orang yang merujuk nama bulan, si sendu menjawab:
"Namaku Mei, Abang. Meskipun itu nama bulan, kuharap Bang Borno tidak menertawakannya”
Mei bertambah dekat dengan Borno. Tetapi saat getar-getar cinta itu terasa, Mei malah berniat pulang ke Surabaya dan tidak tahu kapan akan kembali ke Pontianak.
Disaat yang sama itu, Pak Tua sakit dan Borno yang mengurusnya. Waktu berlalu, Mei tidak memberi kabar. Namun secercah harapan datang. Pak Tua akan melanjutkan terapi ke Surabaya.
Bisakah Borno menemukan Mei? Apakah Angpau yang ditemukan Borno itu hanya angpau biasa?
Ah pokoknya seru!
Novel KAdSAM ini sangat enak dibaca. Kata-kata yang di gunakan sangat mengalir. Penokohannya pun kuat. Kita seperti sedang ada didekat Borno. Kita bisa ikut merasakan kehidupan masyarakat tepi sungai Kapuas dan ikut merasakan serunya naik sepit. ‘Arwah penasaran‘ akan jalan cerita Borno dan Mei dijaga dengan baik dan kita tidak dibuat bosan karena banyak cerita lucu sepanjang novel ini. Tengoklah bagaimana Bang Togar sebagai ketua PPSKT ( Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta) memelonco Borno sebagai calon pengemudi sepit. Lalu, cerita Borno diboikot orang sekampung karena menjadi petugas pemeriksa karcis kapal Feri (Ya, Feri dianggap ‘merampas’ lahan mata pencaharian pengemudi sepit), serunya lomba sepit juga kisah Bang Togar sendiri yang menurut saya dramatis.
Saya juga senang membaca tentang rasa kekeluargaan dalam novel ini dari tokoh Koh Acong, Cik Tulani, Jauhari dan Jupri sesama pengemudi sepit, Andi dan Daeng, bapaknya (yang turut mengubah nasib Borno selanjutnya) dan juga yang favorit pisan lah, petuah-petuah dari Pak Tua.
Selain itu, pemilihan kata-katanya itu indah. Saat Borno rindu, saya pun seakan ikut merasakan rindunya. Seperti contoh ini.
“Mei, apa yang kau lakukan ribuan kilometer disana? lihatlah aku sedang berusaha tidur, memperhatikan seekor cicak yang dari tadi merangkak-rangkak mengincar nyamuk di dekatnya.”
“Mei, enam bulan sudah aku tidak tau kabarmu. Sedang apa kau sekarang? Sibuk? Tidur? Aku sedang mendengar suara penjual bakso keiling di gang sempit di tepian kapuas.”
Hiks hiks. Inget suami yang beda kota. Upps #curcol
Haduuh, gatel pengen kasih tahu akhir ceritanya. Tapi pasti kalian nanti jadinya gak beli novelnya. Setelah membaca, hati saya menjadi lega dan senang walaupun disepertiga akhir cerita, masuklah tokoh dr gigi Sarah yang membuat galau tetapi berakhir manis.
XXXXXXX
Tentang pengarangnya? Tere Liye adalah nama pena dari Bang Darwis. Kalian punya profilnya? Sudah dicari tapi saya belum menemukannya. Tere Liye ini sangat produktif menulis novel dan ada fanspagenya di Facebook: Darwis Tere Liye. Hampir semua bukunya sudah saya baca dan menurut pribadi saya sih, karyanya sangat baik.
Kritik untuk Novel ini? Gak ada. Beneran deh, saya sudah berusaha mikir keras gak ada. Kurang tebal? Ah cukup. Klise? Ah nggak. Cocoklah dengan selera saya: klasik romantis. Sedaap....
Dan Apakah Borno bertemu Mei? Mengapa Ayah Mei galak sekali dan mengancam Borno untuk tidak menemui Mei lagi?
Akankah Borno tetap menjadi pengemudi sepit?
Apakah angpau merah itu hanya angpau biasa?
Selamat mencari jawabannya ya. Jangan terburu-buru membacanya, nikmati saja.
Bagi galauers ada petuah bagus untuk Borno juga untuk kalian.
“Borno, cinta hanyalah segumpal perasaan dalam hati. Sama halnya dengan gumpal perasaan senang, gembira, sedih, sama dengan kau suka makan gulai kepala ikan, suka mesin. Bedanya, kita selama ini terbiasa mengistimewakan gumpal perasaan yang disebut cinta. Kita beri dia porsi lebih penting, kita besarkan, terus menggumpal membesar. Coba saja kaucueki, kaulupakan, maka gumpal cinta itu juga dengan cepat layu seperti kau bosan makan gulai kepala ikan.”
Jadi, masalah cinta janganlah terlalu dipusingkan dan jangan dipaksakan.
Juga petuah lainnya, Ah cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru atau kau akan merusak jalan ceritanya, sendiri! Sepakat deh, Pak Tua.
XXXXXXXX
Harapan saya, Novel ini akan menyusul untuk dibuat menjadi fim seperti Novel Tere Liye: Hafalan Sholat Delisa yang sudah tayang dan Bidadari-Bidadari Cinta yang katanya akan tayang Desember 2012. Selamat berburu KAdSAM ya!